Harga Minyak RI Naik Lagi, ESDM Tutup Peluang Turunkan Harga Pertalite

Kementerian ESDM menutup peluang penurunan harga Pertalite seiring kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada Januari 2023 sebesar 2,45% menjadi US$78,54 per barel. BBM bersubsidi Pertalite kini juga dijual di bawah harga terjangkau atau ekonomis.

Dirjen Migas Tutuka Ariadji mengatakan, harga wajar Pertalite saat ini mencapai nominal Rp 11.000 per liter. Angka tersebut lebih tinggi dari harga jual eceran Pertalite di SPBU sebesar Rp 10.000 per liter.

“Sekarang harga minyak juga naik lagi, sehingga harga keekonomiannya masih di atas Rp 11.000 per liter,” kata Tutuka saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (3/2).

Selisih harga jual dan harga wajar di tengah kenaikan harga minyak menjadi argumen yang relevan jika PT Pertamina tidak menurunkan harga jual Pertalite saat ini. “Saya lihat harga Pertamina sudah dekat,” kata Tutuka.

Kementerian ESDM menetapkan ICP Januari 2023 sebesar US$78,54 per barel, naik US$1,88 atau 2,45% dibandingkan level Desember 2022 sebesar US$76,66 per barel. Peningkatan tersebut sebagian didorong oleh kepercayaan pada permintaan minyak mentah atau produk minyak setelah China mencabut pembatasan Covid-19 yang ketat.

Sebelumnya, harga minyak acuan dunia menunjukkan tren penurunan sejak Juli 2022 hingga awal 2023 setelah mencapai level tertinggi pada awal Maret 2022.

Turunnya harga minyak dunia juga diikuti ICP yang mencapai US$ 117,62 per barel pada Juni, namun terus turun menjadi US$ 76,66 per barel pada Desember 2022.

Penurunan ICP saat itu mendorong pemerintah menurunkan harga BBM Non Subsidi Seri Pertamax dan Dex Series pada Januari 2023. Namun harga Pertalite dan solar bersubsidi tetap bertahan karena harga jual keduanya. BBM bersubsidi masih di bawah harga keekonomiannya.

Kementerian Keuangan menjelaskan, penetapan harga BBM bersubsidi tidak hanya memperhitungkan pergerakan harga minyak dunia.

“Selain harga minyak mentah Indonesia, ada kurs dolar terhadap rupiah yang juga mempengaruhi harga BBM dan konsumsi,” kata Dirjen Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan di Konferensi Pers APBN KiTA, Selasa (3/1).

Nilai tukar rupiah memang tertekan selama setahun terakhir seiring dengan penguatan dolar. Pelemahan rupiah terjadi di tengah tren pengetatan moneter global yang menekan pasar keuangan.

Di sisi lain, Isa juga mengatakan, besaran konsumsi juga menentukan penyesuaian harga BBM bersubsidi. Konsumsi BBM bahkan tak turun saat pemerintah menaikkan harga September lalu.

Hal ini menyebabkan anggaran subsidi kembali membengkak. Dalam laporan realisasi sementara, anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun lalu naik menjadi Rp 48 triliun.

Isa juga mengatakan pemerintah memperhatikan harga minyak dunia. Namun, menurut dia, pemerintah tidak akan terburu-buru menanggapi berbagai perubahan tersebut.

“Tahun ini pemerintah juga perlu mengantisipasi kurs rupiah serta jumlah konsumsi BBM. Semua ini tentunya akan mempengaruhi besaran subsidi dan kompensasi tahun 2023 yang juga mempengaruhi apakah nantinya harga BBM bersubsidi perlu ditingkatkan. disesuaikan atau tidak,” kata Isa.